Delia Hijab – Baju Muslim Casual – Hukum Merayakan Malam Tahun Baru Masehi
Tidak terasa kita sudah berada di penghujung tahun, sebentar lagi kita akan memasuki tahun baru. Gemuruh terompet saling bersahutan, banyak orang berkumpul dengan berbagai macam pesta. Hiruk pikuk keramaian malam itu seakan tidak ada hentinya, mereka rela begadang demi menanti detik-detik pergantian tahun baru tiba. Tak jarang juga bermacam maksiat hadir menyertainya.
Ya, begitulah kurang lebih suasana malam tahun baru. Dilihat dari asal-usulnya pun perayaan seperti ini tidak ada dalam ajaran Islam. Sebab Islam hanya mengenal dua hari raya, selain dari itu Islam melarang untuk ikut-ikutan. Apalagi perayaan tersebut berhubungan dengan tradisi musyrik.
Diriwayatkan, “Rasulullah SAW datang ke Madinah dan penduduknya memiliki dua hari raya di mana mereka bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya: ‘Dua hari apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Dahulu semasa Jahiliyah kami biasa bermain di dua hari ini.’ Beliau pun bersabda, ‘Sungguh Allah telah menggantikannya dengan dua hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha’.” (HR. Abu Dawud)
Memang, tahun baru menjadi momentum yang selalu dinantikan banyak orang. Terutama dengan meriahnya pertunjukan kembang api yang tidak setiap waktu bisa kita lihat. Sehingga banyak orang persepsinya terbawa arus, bahwa tahun baru merupakan awal dari kehidupan baru.
Terlepas dari itu semua, sebenarnya mereka lupa—atau belum tahu—kalau perayaan tersebut tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. Meskipun dianggap sebagai adat dan kebiasaan, banya unsur yang menyimpang dari hukum Islam.
Merayakan tahun baru adalah tradisi jahiliyah
Perayaan tahun baru sebenarnya perayaan besar bangsa pagan Romawi. Perayaan tersebut mereka peruntukkan untuk menghormati Dewa Janus (Januari), yaitu Dewa yang digambarkan bermuka dua, sehingga dia bisa melihat ke arah depan dan belakang. Kedua muka tersebut juga dipercaya bisa melihat ke masa lalu dan masa depan.
Pesta tahun baru 1 Januri pertama kali dirayakan oleh Julius Caesar pada tahun 45 SM. Yaitu ketika dilakukan perubahan penanggalan Romawi mengikuti peredaran matahari yang dimulai 1 Januari. Selanjutnya momentum ini menjadi salah satu perayaan suci umat Kristen. Itulah karenanya ucapan Natal dan Tahun baru selalu dijadikan satu.
Jadi, meramaikan tahun baru mempertanyakan keimanan seseorang. Sebab secara tidak langsung dia mendukung hari besar mereka. Atau secara gamblangnya mengakui agama selain Islam benar. Padahal kita diperintahkan untuk lepas dari ajaran-ajaran mereka.
Merayakan tahun baru menyerupai orang kafir
Merayakan tahun baru berarti sama dengan meniru tradisi orang kafir. Kristen menggunakan lonceng untuk memanggil jama’ahnya ketika beribadah. Yahudi menggunakan terompet sementara orang Majusi menggunakan api. Pada malam tahun baru semuanya ada pada satu waktu, lonceng berbunyi, terompet berbunyi, kembang api pun dinyalakan.
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Merayakan tahun baru tidak lepas dari maksiat
Perayaan tahun baru juga tidak lepas dari kemaksiatan. Lebih daripada meniup terompet atau menyalakan kembang api. Tidak sedikit masyarakat kita melewatinya dengan berbagai bentuk maksiat. Campur baur antara laki-laki dan perempuan lumrah terjadi. Bahkan seks bebas, miras atau narkoba sekalipun tidak bisa dipungkiri.
Wajar, jika perayaan tahun baru tidak diperbolehkan untuk menjaga umat dari pengaruh buruk maksiat. Sebab prinsipnya, seorang muslim wajib mencegah segala bentuk maksiat dengan cara apapun yang sanggup ia lakukan, bukan ikut larut bersama para pelaku maksiat.